Pada zaman sekarang, siapa, sih, yang gak pernah berburu baju murah? Semua orang pasti menginginkan untuk tampil lebih perecaya diri dengan outfit yang sedang trend di media sosial. Tidak heran, banyak anak muda zaman sekarang semakin konsumtif untuk membeli pakaian baru hampir setiap minggu agar dapat mengikuti perkembangan trend dan dapat berfoto cantik di tempat yang aesthethic demi memenuhi kebutuhan konten. Apalagi, pola belanja semacam ini sekarang sangat terfasilitasi dengan adanya perkembangan teknologi. Berburu baju murah bukan lagi hal yang sulit karena dapat dilakukan hanya dengan layar handphone saja. Potongan harga besar-besaran dan gratis ongkos kirim (ongkir) yang menggiurkan juga dapat diperoleh ketika berburu pakaian melalui pasar daring atau E-commerce, misalnya Shopee. Dengan adanya kemudahan tersebut, konsumen tidak perlu repot untuk pergi ke toko secara langsung karena kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan sudah dapat ditemui di toko daring.

Pernahkan muncul pertanyaan, kok bisa, sih, toko-toko online menjual pakaian dengan harga yang jauh lebih murah daripada di toko offline? Kondisi ini dinamankan fast fashion yaitu konveksi menyediakan pakaian murah dengan jumlah yang sangat besar untuk memenuhi pola belanja masyarakat yang sangat dinamis. Kemunculan fast fashion mendukung gaya hidup konsumtif karena harganya yang relatif lebih murah dibandingkan pakaian rancangan langsung dari desainer. Selain itu, konsumen menjadi tidak dapat mengontrol kebutuhan dan pengeluarannya dalam pembelian pakaian, khususnya secara daring. Namun, kemudahan ini tidak sealamanya mendatangkan dampak yang positif bagi konsumen dan lingkungan, justru dapat mendatangkan malapetaka bagi lingkungan.

Apa dampaknya? Dampak yang terjadi adalah pencemaran lingkungan yang sangat masif, bahkan fast fashion menjadi salah satu akibat pemanasan global paling signifikan di masa sekarang. Hal ini terjadi karena kualitas bahan baku dan proses pembuatan produk yang buruk, itulah mengapa barang-barang murah yang dibeli dari E-commerce tidak akan bertahan lama dan hanya bagus di awal saja. Warna-warna cerah, motif, dan tekstur kain yang menjadi daya tarik industri fashion diperoleh dari bahan kimia beracun yang dapat mencemari air. Selain itu, bahan baku kain yang digunakan biasanya adalah kain berbahan dasar petrokimia seperti poliester dan sintetis dengan pertimbangan harga yang sangat murah. Sayangnya, ketika baju dicuci, kain poliester akan melepaskan microfiber (microplastic) yang akan larut dalam air bekas cucian dan kemudian mencemari berbagai macam tempat yang dilewati air tersebut. Fast fashion juga menghasilkan emisi karbon dalam proses produksi dan distribusinya. Misalnya, distribusi bahan mentah antar negara dan distribusi pakaian yang sudah jadi ke seluruh penjuru dunia dengan kapal yang kemudian dikirim ke pengecer melalui truk dan kereta api. Proses tersebut dilakukan hampir setiap waktu sehingga dapat dibayangkan betapa banyak emisi gas yang terjadi.

Lalu bagaimana solusinya? Solusi yang tepat adalah dengan menghentikan budaya membeli pakaian yang konsumtif. Kegiatan konsumsi pakaian haruslah dilakukan dengan menyesuaikan kebutuhan dan tidak hanya untuk mengikuti trend belaka. Pembalian pakaian lebih disarankan untuk membeli dengan kualitas tinggi sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan tidak menyebabkan dampak lingkungan yang buruk atau disebut slow fashion, misalnya membeli kemeja flanel yang berbahan dasar 100% katun organik. Memang, harganya akan jauh lebih tinggi dalam satu kali pembelian, tetapi apa bedanya dengan mengeluarkan sedikit uang dalam frekuensi yang sering? Maka dari itu, ayo kita sama-sama hentikan industri fast fashion dan lebih bijak dalam berbelanja.

Leave a comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.