Stoisisme alias filosofi teras kian terasa relevan untuk diterapkan di zaman yang tidak menentu ini. Karena jika kita lihat secara historis, aliran filsafat ini pun lahir di masa peperangan dan krisis.
Zaman di mana sebagian besar aktivitas kita dihabiskan di media maya, atau yang biasa kita sebut dengan era digital. Kita menjadi pribadi yang berwatak lain saat sedang bermedia social. Kita menjadi seorang yang hobi berdebat, saling silang pendapat, bahkan beberapa ada yang hingga tidak segan menyebar hoax, fake news, dan mem-bully orang tanpa berkaca pada dirinya sendiri.
Lebih daripada itu, beban hidup kita khususnya yang berstatus mahasiswa semakin hari kian berat. Kita dilanda stress oleh tugas-tugas kuliah yang seakan selesai satu, muncul seribu, uang bulanan yang tak kunjung diberi oleh orang tua di rumah, hingga teman atau pacar yang menyebalkan serta tekanan orangtua untuk ambis dalam mengejar nilai.
Pulang dari Kampus masih harus berteman dengan udara panas dan polusi kendaraan diiringi oleh macet di Bangjo lampu merah Kota Jogja yang sebagian pengendaranya membunyikan klakson meski lampu lalu lintas belum sepenuhnya berwarna hijau.
(sumber gambar: youthmanual.com)
Belum habis persoalan di dunia nyata, di dunia maya pun persoalan yang muncul pun tidak kalah pelik. Kita bermain medsos dan tanpa sengaja melihat story ataupun postingan teman yang kita anggap hidupnya dihabiskan hanya untuk travelling, makan enak di kafe-kafe kenamaan dan restoran yang pricelistnya dapat membuat kita kejang-kejang.
Disinilah relevansi dari aliran Stoisisme. Epictetus, salah seorang filsuf Stoisisme mengatakan: “ada hal-hal di bawah (tergantung pada) kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali (tidak bergantung pada) kita.” Hal ini dapat disebut dengan dikotomi kendali. Jika kita ingin memelajari Stoisisme, maka ini adalah pelajaran yang harus kita ingat sepanjang waktu sehingga pernyataan ini tidak sesederhana kelihatannya.
Pernyataan Epictetus diatas memiliki maksud bahwa apabila kita fokus pada apa-apa saja yang dapat kita kendalikan, maka kita akan merasa bahagia. Sedangkan ketidakbahagiaan justru berasal dari hal-hal yang kita rasa bisa (dibawah kendali) kita, padahal bukan.
Yang sudah jelas tidak dibawah kendali kita misalnya, kondisi fisik kita saat lahir, jenis kelamin, etnis, orang tua, cuaca, bencana alam dan fenomena alam lainnya. Lalu, ada pula asumsi yang menganggap bahwa itu berada dibawah kendali kita, padahal sejatinya bukan. Misalnya, pandangan orang lain terhadap diri kita. Reputasi, kekayaan, serta kesehatan juga tidak berada dibawah kendali kita sepenuhnya. Memang, kita bisa mengusahakan agar kesehatan tubuh kita terjaga, namun kita juga tidak dapat menyalahkan apabila sewaktu-waktu kita terserang penyakit diluar keinginan kita. Begitupun dengan kekayaan dan reputasi.
Yang bisa kita kendalikan adalah pertimbangan (judgment), opini kita, tujuan kita, serta segala sesuatu yang merupakan pikiran dan tindakan kita sendiri. Bagi filsuf stoa, menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan adalah hal yang irasional. Contoh kecilnya saat kita sedang mengerjakan deadline tugas, seberapa sering pun kita sambat deadline kita tidak akan pernah selesai. Yang kita bisa lakukan adalah refleksi diri kenapa tidak kita selesaikan jauh-jauh hari. Stoisisme juga mengajarkan untuk kita dapat positive thinking. Deadline yang menakutkan dapat kita lihat dari sisi positifnya. Misalnya, kita jadi tidak keluar uang untuk bermain atau nongkrong.
Dari apa yang telah disebutkan diatas, mungkin beberapa diantara kita ada yang menganggap bahwa Stoisisme adalah paham yang mengajarkan untuk pasrah pada kenyataan. Padahal, menerima keadaan atas apa yang tidak dapat kita kendalikan berbeda dengan sikap pasrah.
Jadi buat kalian semua yang merasa beban hidup di pundak terasa berat hingga ngilu dan nyeri otot, udah jangan lebay. Jadi mahasiswa yang mahasantuy aja! (Naufal)